Sabtu, 28 Juli 2012

MANFAATKAN FACEBOOK SECARA BIJAK

Bagi remaja masa kini, facebook sudah seperti menu utama yang disajikan dalam seluruh kehidupan mereka hari demi hari. Terutama bagi remaja di kota besar dan kota lain yang terjangkau fasilitas internet, facebook sudah jadi 'makanan'  sehari-hari, mengalahkan tempe dan tahu yang seminggu terakhir ini 'lenyap' di pasar karena melonjaknya harga kedelai.
Facebook itu banyak gunanya, demikian menurut dosen Komunikasi Universitas Mercubuana, Ibu Yoyoh Hereyah. "Selain untuk sarana silaturahim, facebook juga bisa dimanfaatkan secara positif untuk membentuk dan mengelola karakter kita!!". Wah menarik yah, apa sebenarnya maksud kata-kata itu?
"Bagi remaja, banyak informasi berguna yang bisa diserap dan diterima dari facebook, lewat sharing,lewat ungkapan-ungkapan, kata-kata bijak, pengalaman hidup teman-teman facebook yang memang bertujuan baik. Itu fungsi utama facebook, sharing tentang bagaimana menghadapi kehidupan, belajar dari pengalaman orang lain untuk hidup yang lebih baik." ujar Yoyoh pengamat komunikasi yang juga redaktur senior Tabloid Cakrawala Indonesia ini.
Selain itu, sejak awal facebook mengajarkan equality atau persamaan dalam status dan persahabatan, di dunia pertemanan facebook kita bisa bersahabat dengan orang tua, guru-guru, bahkan tokoh-tokoh besar yang mungkin selama ini namanya hanya kita kenal di layar kaca atau pemberitaan media. Fungsi komunikasi 'untuk saling menghubungkan' sangat efektif  lewat facebook. Fungsi ini bisa menghemat biaya dan waktu karena kita bisa berhubungan langsung, bisa berkirim pesan, bisa 'chat' langsung secara pribadi dengan teman atau sahabat yang  kebetulan sedang online.
Tapi, memang ada kelemahan atau bahaya negatif apabila  kita terlebih remaja 'keranjingan facebook atau kecanduan facebook. Facebook bisa 'menjauhkan yang dekat, artinya kita tidak mempedulikan lingkungan sekitar dan hanya asyik dengan teman-teman di dunia maya. Dalam keluarga dimana anak-anak sudah kecanduan facebook, amat sulit untuk berkumpul dan bercanda ria secara tatap muka, karena masing-masing  hanya  peduli dan terhubung dengan teman-teman di dunia maya.
Facebook juga membuat  remaja menjadi pribadi yang 'cenderung' ingin tahu masalah orang lain, dan menumbuhkan budaya 'peeping' atau suka mengintip dan mau tahu urusan orang lain, bahkan komentar tidak jelas dan membuat sakit hati teman dunia maya yang mungkin tidak bisa menerima hal itu.
Maka dari itu, manfaatkanlah facebook secara arif, percayalah bahwa teman sejati adalah teman yang bisa langsung kita lihat dan temui, dan jangan terlalu percaya dengan 'teman di duni maya' karena belum tentu mereka 'sungguh-sungguh ada'.
Dari Kompas.com  dilaporkan  adanya  temuan  psikolog soal dampak buruk Facebook bagi remaja. Larry Rosen, psikolog di Cal State Dominguez Hills, yang telah mempelajari dampak teknologi terhadap manusia selama lebih dari 25 tahun mengungkapkan situs jejaring sosial seperti ini berdampak buruk untuk anak dan remaja.
Ia mengungkapkan temuannya dalam pertemuan tahunan American Psychological Association. Menurutnya, remaja yang sering menggunakan teknologi seperti video game atau internet, cenderung lebih mengeluhkan nyeri perut, gangguan tidur, kecemasan dan depresi. Mereka juga dilaporkan sering bolos sekolah.
Selain itu remaja dan orang dewasa muda yang sering login ke Facebook lebih narsis. "Situs jejaring sosial membuat seseorang lebih narsis karena bisa mengiklankan dirinya sendiri 24 jam 7 hari seminggu menurut keinginan pribadi," kata Rosen.
Di antara pengguna dari segala usia, Rosen menilai makin banyak orang menggunakan Facebook, makin besar kemungkinan mereka memiliki gangguan kepribadian antisosial, paranoia, kecemasan dan penggunaan alkohol.
Ketika Rosen dan timmnya mengamati siswa SMP, SMA dan mahasiswa yang sedang belajar untuk ujian selama 15 menit, mereka menemukan bahwa kebanyakan siswa hanya bisa fokus selama dua sampai tiga menit sebelum mengalihkan perhatian mereka untuk hal-hal yang kurang ilmiah, seperti teks pesan atau fitur media sosial di ponsel. Tidak mengherankan siswa yang sebentar-sebentar memeriksa akun Facebook sambil belajar mendapatkan hasil yang buruk saat ujian.
Orang tua juga harus menangani bentuk lain dari jejaring sosial, seperti mengirim dan menerima pesan teks (SMS). Remaja rata-rata mengirimkan lebih dari 2.000 teks per bulan. Ini adalah jumlah besar yang bukan cuma memicu masalah tidur dan konsentrasi, tetapi juga stres fisik.
Rosen menunjukkan contoh seorang remaja di Chicago yang menderita sindrom carpal tunnel dan memerlukan obat pereda nyeri dan perban pada pergelangan tangan setelah mengirim lebih dari 100 teks perhari.
"Anak-anak dibesarkan pada konsep koneksi. Bagi mereka bukan kualitas yang penting, tetapi hubungan itu sendiri. Telepon atau bertemu tatap muka hanya  memungkinkan jumlah minimum koneksi, sementara alat-alat lain memungkinkan mereka untuk terhubung ke dunia," kata Rosen.
Meski Facebook juga memiliki banyak sisi positif, tetapi Rosen menyarankan agar orangtua perlu memberi pemahaman pada anak mereka mengenai cara berperilaku secara online. Hal ini bisa mendorong anak untuk menyadari apa yang boleh dan dilarang ketika menggunakan internet.
"Maka dari itu, manfaatkanlah facebook secara bijaksana.Hindari dampak negatifnya," ujar Yoyoh Menutup perbincangan dengan Cakrawala. (T.C-04/dari berbagai sumber)

Kamis, 29 Desember 2011

IKUT PELATIHAN JURNALISTIK REMAJA

Bagi para remaja yang ingin bisa piawai menulis  mungkin program ini bisa membantu. Nama program ini adalah Pelatihan Jurnalistik Remaja. Materi yang diberikan semuanya disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan sekolah khususnya dalam dunia tulis menulis. Pertama soal dasar-dasar jurnalistik tentang diksi, pemilihan kata, nilai-nilai sebuah tulisan dan rambu-rambu di seputar penulisan. Kemudian, peserta diajarkan dasar-dasar penulisan berita, dasar-dasar penulisan feature dan bagaimana membuat artikel. Tak lupa juga diajarkan bagaimana melakukan wawancara dengan narasumber .Tertarik?  bisa hubungi 082112297660

TIM PELATIH JURNALISTIK REMAJA

tim pelatih Jurnalistik

Tim Inti Pelatihan Jurnalistik Remaja ( Reisha, Arya, Indiwan,Ivander Wijaya, Yansin, Jesica, Josua dan Noviwati)

Tertarik mau ikut? Call  082112297660

Tim Pelatih Jurnalistik Remaja

Daftarkan nama anda , Hubungi kami di 082112297660




Rabu, 14 Desember 2011

pelatihan yuk

HUNTING FOTO KOTA TUA

HUNTING FOTO KOTA TUA

HUNTING FOTO KOTA TUA

RESENSI BUKU SEMIOTIKA

Apa yang harus dilakukan bila ingin menganalisis sebuah pesan dalam sebuah cover majalah atau sebuah karikatur?. Salah satu jawabnya adalah menggunakan konsep-konsep semiotika. Sayangnya, tak banyak buku semiotika yang bisa menjelaskan secara sistematis dan sederhana dan bisa membimbing mahasiswa tahap demi tahap. Untunglah ada satu buku baru soal semiotika yang disusun secara praktis untuk membantu mahasiswa saat membuat skripsi.
Di susun secara sistematis, buku ini terbagi menjadi  Sembilan Bab yang terdiri dari pendahuluan ,pengenalan sekilas tentang semiotika dan  tanda-tanda,  teori-teori semiotika, sejarah , perkenalan terhadap sejumlah tokoh yang sudah berjasa di bidang Semiotika seperti    Charles Sander Peirce, Ferdinand de Saussure serta tak lupa  Roland Barthes yang terkenal dengan semiotika dua tahapnya dan konsep mitos yang menjadi andalan utamanya. (p.15)
Buku ini dibuat oleh Indiwan Seto Wahyu Wibowo alumnus Ilmu Komunikasi Fisipol UGM  tahun 1992, yang saat ini bekerja sebagai dosen di sebuah Universitas swasta di kawasan Gading Serpong Tangerang Banten. Yang menarik adalah testimoni dari sang penulis bahwa buku ini dibuat gara-gara kesulitannya saat menulis tesis karena sulitnya mencari referensi terkait metodologi yang digunakan yakni semiotika.
Soal tanda, bahasa dan makna  dalam Bab awal buku ini banyak dibahas, mengingat tanda adalah hal yang sangat penting dalam semiotika. Itu wajar mengingat kata kunci yang banyak disinggung dalam  buku ini adalah  konsep tanda. Bisa dibilang semiotika komunikasi  selalu berupaya menemukan makna di balik sebuah tanda. Jadi bisa disebut, (p.7)
Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa hasil dari persepsi indera kita sebagai manusia,  dan tanda merujuk atau mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan amat tergantung pada bagaimana penggunanya mengenalnya sehingga disebut tanda.
Buku ini juga dilengkapi dengan kerangka berpikir semiotika dan sistematika penulisan penelitian semiotika yang akan memberi pijakan kuat bagi mahasiswa agar tidak ragu memilih semiotika dan mampu mempertanggungjawabkannya secara ilmiah dengan argument yang kuat sekitar penggunaan paradigma  penelitian yang sesuai, serta tahapan-tahapan yang harus dilalui peneliti bila menggunakan  analisis semiotika. (p.25)
Indiwan juga  menjelaskan bagaimana  struktur penulisan yang khas yang tentu saja berbeda bila dibandingkan dengan  analisis isi kuantitatif yang konvensional. Di awal buku ini bicara banyak soal perbedaan mendasar antara penelitian semiotika dengan penelitian yang menggunakan analisis isi kuantitatif, dan bagaimana menentukan dan ‘ mengukur’  validitas penelitian kualitatif secara umum maupun penelitian semiotika.
Kelebihan  buku ini adalah  si penulis tidak hanya memaparkan teori-teori serta konsep mentah mengenai  semiotika dan alur pikir para penggagasnya tetapi penulis secara khusus menambahkan empat contoh penulisan atau penggarapan  skripsi dan thesis serta penelitian yang menggunakan semiotika sebagai  pisau analisis.
Diantaranya pembahasan  tentang  “ Pembunuhan karakter Presiden Gus Dur di Media Massa” menggunakan  semiotika social  MK Halliday dan Hassan, dan konstruksi Kematian Soeharto yang melihat  fenomena menarik tentang kematian Soeharto mantan presiden Indonesia yang oleh Majalah Tempo digambarkan lewat cover yang sangat controversial karena  mirip dengan  lukisan ‘The Last Supper’ , perjamuan suci Yesus Kristus  sebelum wafat di kayu salib. (p.155)
Kelemahan  dari buku ini adalah kurang banyak membahas bagaimana bila  mahasiswa ingin melakukan penelitian menggunakan semiotika Roland Barthes yang memang membutuhkan kerja ekstra karena terkait dengan analisis social historis terkait tema yang diangkat.
Paling tidak, dengan membaca buku ini, mahasiswa Komunikasi khususnya yang tengah bergulat dalam mengerjakan skripsi bisa dengan mudah dan praktis memahami tahap-tahap apa saja yang harus dilakukan untuk meneliti atau membuat skripsi terkait semiotika.

buku semiotika

PELATIHAN JURNALISTIK REMAJA

Minggu, 29 Mei 2011

MELATIH JURNALISTIK MAHASISWA IPB

Berfoto bersama para mahasiswa Fak.Ekonomi dan Manajemen IPB peserta pelatihan jurnalistik, kandidat doktor indiwan seto wahyu wibowo dan Kabiro Antara Bogor Teguh Handoko, di Kampus Dramaga IPB Bogor, Sabtu , 21/05/2011

KOMUNIKASI SELAYANG PANDANG

 Ilmu komunikasi yang dikenal sampai sekarang adalah disiplin ilmu yang berumur relatif lebih muda jika dibandingkan dengan sosiologi, biologi, astronomi, fisika bahkan filsafat. Dalam sejarah perkembangan ilmu komunikasi, kajian ilmu komunikasi berakar dari ilmu politik (Dahlan, 1990:6).   Schramm sendiri mengindikasikan Harold Lasswell sebagai salah satu Perintis Komunikasi modern, adalah juga ahli ilmu politik. Komunikasi waktu itu lebih banyak menelaah masalah propaganda dan opini publik.                         
Dalam perkembangan selanjutnya komunikasi mulai dilihat sebagai ilmu ketika sosiologi (dimulai oleh P. Lazarsfeld) dan psychologi social (yang dirintis oleh Carl Hovland) memberikan kontribusi terhadap telaah fenomena komunikasi massa waktu itu. Rintisan sosiologi dan psikologi sosial memberikan kontribusi soal perspektif masyarakat yang mendapatkan pengaruh media massa. Definisi komunikasi sendiri sangat banyak bahkan Dance dan Larson (dalam Miller, 2005:3) pernah menyatakan terdapat 126 definisi komunikasi. Salah satu definisi itu menyebut bahwa Komunikasi adalah keseluruhan prosedur yang mana prosedur tersebut membuat pesan tertentu mempengaruhi yang lain c.one which would inclue the procedures by means of which one mechanism affects another mechanism (Weaver, 1949:3). Carl Hovland yang punya latar belakang Psikologi menyatakan bahwa komunikasi adalah proses di mana seorang individu (komunikator) mentransmisikan stimuli untuk memodifikasi atau mengubah perilaku individu lainnya (Hovland, 1953). Grebner (dalam Miller, 2005: 4) menyatakan bahwa komunikasi adalah interaksi sosial melalui simbol dan sistem pesan. Dari pernyataan-pernyataan itu jelaslah komunikasi tidak mempunyai definisi tunggal. Komunikasi lebih merupakan proses penyampaian pesan melalui simbol-tanda yang dilakukan secara transaksional antara penyampai pesan dengan para penerima pesan dengan tujuan tertentu (disesuaikan dengan kepentingan komunikator). Karena definisi yang begitu banyak maka tidak mengherankan apabila dalam konseptualisasi komunikasi terdapat point of convergence dan point of divergence.(Miller, 2005: 5-11). Definisi umum (point of convergence) dari komunikasi terdiri dari definisi komunikasi sebagai proses, komunikasi sebagai sesuatu yang transaksional dan komunikasi sebagai sesuatu yang simbolik. Komunikasi sebagai proses adalah pemahaman bahwa titik utama yang menjadi perhatian sekian banyak definisi komunikasi terletak pada proses. Komunikasi sebagai proses menyiratkan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang berkelanjutan, kompleks dan tidak arbitrer (mana suka). Komunikasi sebagai sesuatu yang transaksional berarti bahwa komunikasi tidak hanya sekedar proses dan interaksional melainkan terjadinya intensifikasi hubungan timbal balik antara komunikator, komunikan, pesan, efek dan sebagainya. Dengan begitu komunikasi merupakan sesuatu yang simbolik menyiratkan bahwa ketika komunikasi berproses melalui sesuatu yang transaksional maka hal esensial yang dibutuhkan adalah pemaknaan yang berangkat dari simbol-simbol yang dipakai dalam tindakan komunikasi tersebut. Berbeda dengan sudut pandang dalam konteks definisi umum, point of divergence lebih melihat pusaran definisi tersebar dalam beberapa karakteristik. Point pertama adalah poin komunikasi sebagai aktivitas sosial. Point ini merujuk konseptualisasi yang tidak sama tapi berada dalam konteks relasi sosial yang beragam dan mempunyai impak terhadap kehidupan sosial. Konseptualisasi relasi sosial dan komunikasi mengakibatkan bahwa komunikasi mempunyai level sosial dari antar pribadi sampai komunikasi massa, termasuk di dalamnya proses kognitif dalam proses interaksi komunikatif. Point kedua adalah komunikasi berhubungan dengan tindakan komunikatif dan intensionalitas bahwa perspektif komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah perspektif sumber komunikasi melainkan juga sampai pada masalah perpektif penerima, dan perspektif pesan. Dilihat dari perkembangan ilmu komunikasi maka terdapat tiga bidang ilmu yang memberikan kontribusi konkret terhadap perkembangan ilmu komunikasi. Ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu politik, sosiologi, dan psikologi. Ilmu politik memberikan ruang pertama pada pembahasan propaganda politik berikut pengaruhnya kepada masyarakat. Sosiologi memberikan tempat di mana komunikasi tidak bisa melepaskan diri dari masalah interaksi antar manusia. Psikologi memberikan kajian pelengkap mengenai masalah komunikasi yang berkaitan dengan perilaku psikologis seorang manusia (individu) maupun tindakan masyarakat. seperti ilmu matematika (yang persis juga dipakai oleh Shannon dalam menjelaskan persoalan mendasar komunikasi), linguistik (yang turut membantu komunikasi dalam mempelajari karakteristik pesan dalam sebuah bahasa), biologi (yang turut membantuk komunikasi yang dipahami sebagai sebuah sistem jaringan yang saling terhubung satu sama lain). Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa komunikasi harus dipahami sebagai disiplin ilmu yang interdisipliner. Jalinan erat antara komunikasi dengan bidang ilmu di luar komunikasi memperlihatkan bahwa komunikasi merupakan disiplin ilmu yang masih berkembang, seturut dengan manusia yang mempunyai kecenderungan berkembang pula. Terkait dengan komunikasi, Miller menelaah tentang penggunaan dari teori-teori komunikasi yang digunakan dalam berbagai konteks komunikasi yang berbeda. Telaah teori dalam konteks komunikasi diperlukan untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi bekerja, dan proses itu melekat dalam jalinan sosial dalam kehidupan manusia. Pembahasan tentang teori dalam konteks komunikasi dilakukan untuk melihat bagaimana proses komunikasi bekerja dalam situasi yang spesifik dan dalam Konteks komunikasi yang khusus pula. Konteks komunikasi yang dimaksud Miller dalam bukunya berkaitan dengan penggunaan komunikasi yang melibatkan banyak orang dan menyentuh level komunikasi yang berbeda. Dalam hal ini Miller membahas bagaimana teori komunikasi bekerja dalam berbagai level komunikasi dan sekaligus melihat bagaimana teori komunikasi itu dibangun dalam berbagai level yang berbeda tersebut. Konteks komunikasi yang dimaksud di sini meliputi lima macam konteks (level) yang berbeda. Kelimanya meliputi: (organizational communication theory) teori-teori komunikasi organisasi, (small group communication theory) teori-teori komunikasi kelompok,(media processing and effects theory) teori-teori prosesing dan efek media,(media and society theory) teori-teori media dan masyarakat, dan (culture and communication theory). Dari lima kajian ini, terlihat juga adanya perspektif komunikasi terhadap pokok kajian lain. Secara garis besar teori-teori dalam komunikasi organisasi meliputi beragam persfektif disiplin ilmu yang turut memperkaya disiplin ilmu komunikasi. Sifat beragam ini dapat kita lihat dari beragamnya disiplin ilmu yang turut mempengaruhi ilmu komunikasi, yang meliputi, di antaranya : ilmu manajemen, ilmu sosiologi, ilmu sosial, ilmu psikologi industry, dan sub disiplin ilmu komunikasi sendiri, komunikasi organisasi. Contoh dari perpektif komunikasi saat mengkaji bidang lain adalah Teori-teori komunikasi dalam organisasi. Teori-teori dalam konteks ini bukanlah hal yang baru, karena sesungguhnya oleh dispilin ilmu yang lain sudah dipelajari sebelumnya. Salah seorang yang terkenal tentang teori organisasi adalah Max Weber dengan teori birokrasinya, atau Henrry Fayol dengan teori classical management. Kesemua teori tersebut menjelaskan suatu perspektif bahwa organisasi diatur oleh suatu standarisasi, spesialisasi dan prediktibilitas. Demikian juga halnya dalam memahami komunikasi keorganisasian, biasanya kita melihat ke dalam organisasi itu sendiri. Dimana dalam suatu organisasi memiliki system tersendiri karena ia memiliki sifat hirarkis order dan hirarkis tersebut menyatu dalam sebuah subsistem dan suprasistem yang terbuka dengan faktor lingkungan. Karena itu untuk memahami keorganisasian kita mesti memahami timbal balik di antara komponen yang ada di dalam system, layaknya sebuah mesin, saling bergantung satu sama lain dengan komponen (bagian) mesin yang lain. Pada umumnya penelitian dalam komunikasi organisasi memberi gambaran umum tentang konsep-konsep yang ada dalam komunikasi, seperti : feedback, jejaring komunikasi, dan arus informasi. Sebagian yang tidak puas terhadap aspek hasil penelitian yang bersifat seperti mesin itu, lalu membuat pendekatan lain dengan menggunakan pendekatan interpretive methapor, cultural methapor. Kedua pendekatan yang disebutkan terakhir memperkaya penelitian teori komunikasi organisasi dalam bentuk local understanding dan teori ini membantu memberi refleksi atas kompleksitasnya dalam dunia sosial dan proses konstruksi yang terjadi di dalamnya. Sesungguhnya ada empat teori yang digunakan dalam konteks komunikasi organisasi, yaitu teori organisasi weick, teori strukturasi giddens, teori percakapan dan teks taylor, serta teori control concertive Baker and cheney. Dua teori yang disebutkan di muka berasal dari di luar disiplin ilmu komunikasi, sedang dua yang terakhir berasal dari disiplin ilmu komunikasi.( dari berbagai sumber)

BAHASA DAN REPRESENTASI

Representasi  adalah peristiwa kebahasaan. Bagaimana seseorang ditampilkan dengan tidak baik, atau bias bisa terjadi justru melalui penggunaan bahasa. Melalui bahasalah berbagai tindak misrepresentasi tersebut ditampilkan oleh media dan dihadirkan dalam pemberitaan.
      Bagaimana cara media memaknai realitas? Paling tidak ada dua proses besar yang dilakukan media. Pertama, wartawan memilih fakta. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi bahwa wartawan tidak mungkin melihat persitiwa tanpa perspektif. Kedua, mereka menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat, preposisi, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa dan sebagainya.
      Proses penulisan fakta mau tidak mau sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca oleh khalayak. Pilihan kata-kata tertentu yang dipakai tidak sekedar teknis jurnalistik tetapi bagian penting dari representasi. Bagaimana bahasa yang dalam hal ini umumnya pilihan kata-kata yang dipilih dapat menciptakan realitas tertentu kepada khalayak, Kenneth Burke bahkan pernah menjelaskan,…kata-kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu tetapi juga membatasi persepsi kita dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu. Dengan kata lain, kata-kata yang dipakai dapat membatasi seseorang melihat perspektif lain, menyediakan aspek tertentu dari suatu peristiwa dan mengarahkannya bagaimana khalayak harus memahami suatu peristiwa. Akan tetapi yang lebih penting, bagaimana kata-kata sesungguhnya dapat mengarahkan logika tertentu untuk memahami suatu persoalan.
     Bahasa bukan hanya mencerminkan realitas, tetapi justru dapat juga menciptakan realitas.
(dari berbagai sumber)