Apa yang harus dilakukan bila ingin menganalisis sebuah pesan dalam sebuah cover majalah atau sebuah karikatur?. Salah satu jawabnya adalah menggunakan konsep-konsep semiotika. Sayangnya, tak banyak buku semiotika yang bisa menjelaskan secara sistematis dan sederhana dan bisa membimbing mahasiswa tahap demi tahap. Untunglah ada satu buku baru soal semiotika yang disusun secara praktis untuk membantu mahasiswa saat membuat skripsi.
Di susun secara sistematis, buku ini terbagi menjadi Sembilan Bab yang terdiri dari pendahuluan ,pengenalan sekilas tentang semiotika dan tanda-tanda, teori-teori semiotika, sejarah , perkenalan terhadap sejumlah tokoh yang sudah berjasa di bidang Semiotika seperti Charles Sander Peirce, Ferdinand de Saussure serta tak lupa Roland Barthes yang terkenal dengan semiotika dua tahapnya dan konsep mitos yang menjadi andalan utamanya. (p.15)
Buku ini dibuat oleh Indiwan Seto Wahyu Wibowo alumnus Ilmu Komunikasi Fisipol UGM tahun 1992, yang saat ini bekerja sebagai dosen di sebuah Universitas swasta di kawasan Gading Serpong Tangerang Banten. Yang menarik adalah testimoni dari sang penulis bahwa buku ini dibuat gara-gara kesulitannya saat menulis tesis karena sulitnya mencari referensi terkait metodologi yang digunakan yakni semiotika.
Soal tanda, bahasa dan makna dalam Bab awal buku ini banyak dibahas, mengingat tanda adalah hal yang sangat penting dalam semiotika. Itu wajar mengingat kata kunci yang banyak disinggung dalam buku ini adalah konsep tanda. Bisa dibilang semiotika komunikasi selalu berupaya menemukan makna di balik sebuah tanda. Jadi bisa disebut, (p.7)
Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa hasil dari persepsi indera kita sebagai manusia, dan tanda merujuk atau mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan amat tergantung pada bagaimana penggunanya mengenalnya sehingga disebut tanda.
Buku ini juga dilengkapi dengan kerangka berpikir semiotika dan sistematika penulisan penelitian semiotika yang akan memberi pijakan kuat bagi mahasiswa agar tidak ragu memilih semiotika dan mampu mempertanggungjawabkannya secara ilmiah dengan argument yang kuat sekitar penggunaan paradigma penelitian yang sesuai, serta tahapan-tahapan yang harus dilalui peneliti bila menggunakan analisis semiotika. (p.25)
Indiwan juga menjelaskan bagaimana struktur penulisan yang khas yang tentu saja berbeda bila dibandingkan dengan analisis isi kuantitatif yang konvensional. Di awal buku ini bicara banyak soal perbedaan mendasar antara penelitian semiotika dengan penelitian yang menggunakan analisis isi kuantitatif, dan bagaimana menentukan dan ‘ mengukur’ validitas penelitian kualitatif secara umum maupun penelitian semiotika.
Kelebihan buku ini adalah si penulis tidak hanya memaparkan teori-teori serta konsep mentah mengenai semiotika dan alur pikir para penggagasnya tetapi penulis secara khusus menambahkan empat contoh penulisan atau penggarapan skripsi dan thesis serta penelitian yang menggunakan semiotika sebagai pisau analisis.
Diantaranya pembahasan tentang “ Pembunuhan karakter Presiden Gus Dur di Media Massa” menggunakan semiotika social MK Halliday dan Hassan, dan konstruksi Kematian Soeharto yang melihat fenomena menarik tentang kematian Soeharto mantan presiden Indonesia yang oleh Majalah Tempo digambarkan lewat cover yang sangat controversial karena mirip dengan lukisan ‘The Last Supper’ , perjamuan suci Yesus Kristus sebelum wafat di kayu salib. (p.155)
Kelemahan dari buku ini adalah kurang banyak membahas bagaimana bila mahasiswa ingin melakukan penelitian menggunakan semiotika Roland Barthes yang memang membutuhkan kerja ekstra karena terkait dengan analisis social historis terkait tema yang diangkat.
Paling tidak, dengan membaca buku ini, mahasiswa Komunikasi khususnya yang tengah bergulat dalam mengerjakan skripsi bisa dengan mudah dan praktis memahami tahap-tahap apa saja yang harus dilakukan untuk meneliti atau membuat skripsi terkait semiotika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar